Selasa, 23 Mei 2017

Sejarah Bercerita Mengenai Seluk Beluk Kerajaan Siak, Riau

Istana Kerajaan Siak yang dibangun oleh Sultan Assyaidis Syarif Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin pada tahun 1889 dengan nama ASSIRAYATUL HASYIMIAH lengkap dengan peralatan kerajaan. Sekarang Istana Kerajaan Siak Sri Indrapura dijadikan tempat penyimpanan benda-benda koleksi kerajaan.

Diantara koleksi benda antik Istana Siak adalah: Keramik dari Cina, Eropa, Kursi-kursi kristal dibuat tahun 1896, Patung perunggu Ratu Wihemina merupakan hadiah Kerajaan Belanda, patung pualam Sultan Syarim Hasim I bermata berlian dibuat pada tahun 1889, perkakas menyerupai sendok, piring, gelas-cangkir berlambangkan Kerajaan Siak masih terdapat dalam Istana, komet , kapal kato (kapal raja siak).


Sebelum berdirinya Kerajaan Siak II pada tahun 1723 oleh Sultan Abdul Jalil Rachmad Syah yang di Pertuan Raja Kecil yang sentra pemerintahannya di Kota Buantan, tempat Siak hingga batas Minangkabau dan pantai Timur Pulau Sumatera dibawah kekuasaan Kerajaan Johor sebagai penerus imperium Melaka. Kerajaan Gasib merupakan Kerajaan Siak I yang berkedudukan di Sungai Gasib di Hulu Sungai Siak. Kerajaan ini yakni kepingan Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Muara Takus. Raja yang terakhir dari Kerajaan Gasib ini yang telah beragama islam yakni Sultan Hasan yang ditabalkan menjadi Raja oleh Sultan Johor. Kerajaan Siak I berakhir kekuasaannya pada tahun 1622 M.

Selama 100 tahun negeri ini tidak mempunyai raja, untuk mengawasi negeri ini ditunjuk seorang Syahbandar yang berkedudukan di Sabak Auh dikuala sungai siak dengan peran memungut cukai hasil hutan, timah dan hasil laut di tempat Kerajaan Johor.

Pada permulaan tahun 1622 Sultan Mahmud Syah , Sultan Johor Ayahanda Raja Kecil dibunuh oleh Megat Sri Rama sewaktu pulang dari Sholat Jum’at. Kerajaan Johor diambil alih oleh Datuk Bendahara Tun Hebab dan mengangkat dirinya sebagai raja Johor memakai gelar Sultan Abdul Jalil Riayat Syah (1699-1719). Keluarga Sultan Mahmud Syah II dikejar dan dibunuh, termasuk orang-orang besar Kerajaan, dayang-dayang serta pengikut setia, maksudnya untuk menghilangkan keturunan Sultan Mahmud Syah II.

Tindakan ini bukanlah menambah kewibawaan dan kekuasaan tetapi sebaliknya timbul kebencian serta kekacauan dimana-mana di Negeri Johor dan daerah taklukannya. Beberapa daerah taklukannya melepaskan diri menyerupai : Indragiri, Kampar, Kedah, Kelantan, Trenggano dan Petani. Orang Minangkabau, Bugis, yang hidup sebagai pengembara memusuhi Sultan termasuk orang-orang Melayu di Petani.

Encik Pung, Ibunda Raja Kecil dapat diselamatkan oleh Ayahandanya Datuk Laksemana Johor, maka Encik Pung melahirkan putra lelaki berjulukan Raja Kecil yang dipanggil Tuan Bujang dan dapat disembunyikan hingga Raja Kecil berumur 7 tahun. Karena pengejaran terus dilaksanakan oleh Sultan Abdul Jalil Riayat Syah terhadap Raja Kecil sebagai pewaris Kesultanan Johor, maka neneknya Datuk Laksemana Johor kemudian dibantu oleh Raja Negara di Singapura dan Datuk Temenggung Muar, maka Raja Kecil bersama ibunya Encik Pung dititipkan kepada saudagar orang Minangkabau yang bergelar Nakhoda Malim untuk dibawa ke Jambi dan kemudian terus ke Pagaruyung dan diserahkan kepada Raja Pagaruyung Yang Tuan Sakti untuk menerima perlindungan.

Di Pagaruyung Raja Kecil dididik dan dibesarkan sebagai anak Raja sehingga mendapat pengetahuan menangani pemerintahan, agama, sopan santun istiadat, kemiliteran dan bela diri.  Setelah itu maka Raja Kecil tiada berhenti daripada menuntut ilmu dunia akhirat, tiada meninggalkan sembahyang dan terdekat dengan guru agama dan guru-guru dunia dan bercampur dengan orang besar yang bijaksana. Raja Kecil menuntut bela atas ajal ayahandanya, merebut kembali tahta Kerajaan Johor. Raja Kecil mempersiapkan kekuatan untuk menyerang Johor dengan mendapat pemberian orang Batu Bara yang berasal dari Minang kabau, Orang-orang Melayu Pesisir di Tanah Putih dan Kubu. DiBengkalis Raja Kecil mengatur kekuatan dan mendapat pemberian dari orang-orang Minang kabau yang ada disana serta orang Melayu yang setia dengan Sultan Mahmud Syah II.

Pada tanggal 21 Maret 1717, Tahta Kerajaan Johor jatuh ketangan Raja Kecil. Sultan Abdul Jalil Riayat Syah turun tahta yang telah memerintah di Kerajaan Johor pada tahun 1699-1717.  Pemerintahan Raja Kecil tidak bertahan lama di Kerajaan Johor, alasannya yakni Daeng Parani sangat marah dan dendam serta ditambah pula hasutan Tengku Tengan yang semula bakal menjadi isteri Raja Kecil sebagai permaisuri Kerajaan Johor gagal, alasannya yakni Raja Kecil sangat senang dengan adiknya yaitu Tengku Kamariyah. Akhirnya Tengku Kamariyah menjadi permaisuri Kerajaan Johor isteri Raja Kecil. Daeng Parani, Tengku Sulaiman dan Tengku Tengah bersepakat untuk merebut kembali kekuasaan Raja Kecil di Johor. Terjadilah perang saudara anatar Raja Kecil sepihak dengan Tengku Sulaiman, sedangkan Tengku Tengah dan Daeng Parani dengan pengikutnya orang-orang Bugis membantu Sultan Sulaiman.

Serangan ke Bintan untuk membalas dendam dilanjutkan pada tahun 1723, Raja Kecil berhasil mengambil isteri Tengku Kamariyah beserta pembesar Kerajaan yang ditawan. Raja Kecil kembali ke Bengkalis dan mencari daerah yang aman dari serangan orang luar dan mendirikan Kerajaan gres yang terletak di Sungai Siak yaitu di Kota Buantan. Kerajaan ini diberi nama Kerajaan Siak. Raja Kecil dengan Kerajaan Siak ini menyusun kekuatan untuk menyerang Bintan. Serangan ini terus menerus dilaksanakan hingga tahun 1737.

Raja Kecil kembali ke Siak mendirikan sentra Kerajaan dan membangun negeri Buantan yang terletak dipinggir Sungai Siak yang dikenal dengan nama Sungai Jantan. Dipusat Kerajaan Sultan Abdul Jalil Rachmat Syah melaksanakan konsolidasi dalam bidang bidang pemerintahan, militer dan perbaikan perekonomian negerinya.  Setelah wafatnya Tengku Kamariyah, isteri Raja Kecil yang tercinta yang sangat setia kepada suaminya di Kota Buantan, Raja Kecil sering sakit dan menerima tekanan batin. Pada tahun 1746 Raja Kecil dengan gelar Sultan Abdul Jalil Rachmat Syah mangkat, ia disemayamkan di Kota Buantan dan digelar MARHUM BUANTAN.

Pada penghujung tahun 1724 Raja Kecil memilih sebuah tempat untuk menjadi sentra kerajaan. Tempat itu diberi nama “ Kota Buantan “, disinilah Kerajaan Siak berpusat.Kerajaan Siak diwariskan kepada anak cucunya dengan garis keturunan berdasarkan Syariat Islam (keturunan ayah) sebagai berikut :
1. Raja Kecik
Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah (1723-1746 M) dengan ibukota Kerajaan di Buantan mangkat di Buantan yang disebut rakyat almarhum Buantan

2. Tengku Buang Asmara
Memerintah antara tahun 1746-1765 M yang merupakan Putra Bungsu Raja Kecik dengan ibukota Kerajaan di Sungai Mempura yang disebut rakyat almarhum Mempura.
3. Tengku Ismail
Sultan Ismail Abdul Jalil Jalaluddin Syah (1765-1766 M). Putra Tengku Buang Asmara dengan Ibukota Kerajaan di Sungai Mempura Besar, disebut rakyat almarhum mangkat di Balai atau terkenal juga Sultan Kudung alasannya yakni tangan almarhum sebelahnya Kudung, dalam perlawanannya menentang Belanda tahun 1766 M.
4. Tengku Alam
Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah (1766-1780 M). Putra sulung Raja Kecik dengan Ibukota Kerajaan di Senapelan (Pekanbaru), mangkat di Senapelan (dekat mesjid Raya Pekanbaru) disebut rakyat almarhum Bukit.

5. Tengku Muhammad Ali Panglima Besar
Sultan Ali Abdul Jalil Muazzam Syah (1780-1782 M). Putra Tengku Alam dengan Ibukota Kerajaan di Senapelan, mangkat di Senapelan dan disebut rakyat almarhum Pekan (yang menghubungkan Kota Pekanbaru, Minangkabau dan Indragiri).

6. Tengku Yahya
Sultan Yahya Abdul Jalil Muzzaffar Syah (1782-1784 M). Putra dari Sultan Ismail Abdul Jalil Jalaluddin Syah, dengan Ibukota Kerajaan di Sungai Mempura, mangkat di Dungun (Malaka) disebut rakyat almarhum Dungun.

7. Tengku Sayed Ali
Sultan Assyaidis Sarif Ali Abdul Jalil Syarifuddin (1784-1810 M). Putra Tengku Embung Badariah (Putri Tengku Alam) yang kawin dengan Sayed Syarief Usman Syahbuddin (Arab). Ibukota Kerajaan di Kota Tinggi (Siak Sri Indrapura), mangkat di Kota Tinggi disebut rakyat almarhum Kota Tinggi.

8. Tengku Sayed Ibrahim
Sultan Assyaidis Syarief Ibrahim Abdul Jalil Khaliluddin (1810-1815 M) alasannya yakni kesehatan Sultan terganggu, maka Pemerintahan dijalankan oleh wali Sultan.
Pada tahun 1813, Sultan Ibrahim mangkat dan dimakamkan di Kota Tinggi yang disebut rakyat almarhum Pura Kecil.

9. Tengku Sayed Ismail
Sultan Assyaidis Syarief Ismail Abdul Jalil Syarifuddin (1815-1864 M). Pada masa pemerintahan beliaulah adanya Tractat Siak-Belanda dimana Belanda mengakui Siak. Dimakamkan di Kota Tinggi yang disebut almarhum Indrapura.

10. Tengku Panglima Besar Sayed Kasyim I
Tengku Panglima Besar Sayed Kasyim I, Sultan Assyaidis Syarief Kasim I Abdul Jalil Syarifuddin (1864-1889 M) putra dari Sultan Ismail. Dimakamkan di Kota Tinggi dan disebut almarhum Mahkota.

11. Tengku Ngah Sayed Hasyim
Sultan Assyaidis Syarief Hasyim Abdul Jalil Syarifuddin (1889-1908), putra dari Sultan Kasyim I. Sultan Syarif Hasyim mendirikan Istana yang diberi nama Istana Asserayah Hasyimiah. Mangkat di Singapura dan dimakamkan di Kota Tinggi. Disebut rakyat almarhum Baginda.

12. Tengku Putra Sayed Kasyim
Sultan Assyaidis Syarief Kasyim Sani (II) Abdul Jalil Syarifuddin (3 Maret 1915-1946). Sultan Syarif Kasyim memiliki 2 orang permaisuri, yaitu :
- Permaisuri I
Tengku Bin Syarifah Latifah digelar Tengku Agung, mangkat tahun 1927 di Siak Sri Indrapura. Dimakamkan di samping Mesjid Syahbuddin Siak Sri Indrapura.
- Permaisuri I
Syarifah Fadlun dengan gelar Tengku Maharatu, bercerai hidup tahun 1950 di Jakarta, mangkat di Jakarta tahun 1980 dimakamkan di Jakarta.
Beliau merupakan Sultan yang terakhir dari Kerajaan Siak. Beliau mangkat di Rumah Sakit Caltex Rumbai dan dimakamkan disamping Mesjid Syahbuddin Siak Sri Indrapura pada tanggal 24 April 1968.

Referensi:
http://m.riaupos.co/34083-berita-kapal-raja-siak-tempo-dulu-masih-terpajang-di-istana-siak.html#.Ulvl8FAyZtY

Tidak ada komentar:

Posting Komentar