Bandung. Hal ini dilakukan untuk mencegah tentara Sekutu dan tentara NICA Belanda untuk dapat menggunakan kota Bandung sebagai markas strategis militer dalam Perang Kemerdekaan Indonesia.
Latar belakang - Pasukan
Inggris bab dari Brigade MacDonald tiba di Bandung pada tanggal 12 Oktober 1945. Sejak semula kekerabatan mereka dengan pemerintah RI sudah tegang. Mereka menuntut semoga semua senjata api yang ada di tangan penduduk, kecuali TKR dan polisi, diserahkan kepada mereka. Orang-orang Belanda yang gres dibebaskan dari kamp tawanan mulai melaksanakan tindakan-tindakan yang mulai mengganggu keamanan.
Akibatnya, bentrokan bersenjata antara Inggris dan TKR tidak dapat dihindari. Malam tanggal 24 November 1945, TKR dan badan-badan usaha melancarkan serangan terhadap kedudukan-kedudukan Inggris di bab utara, termasuk Hotel Homann dan Hotel Preanger yang mereka gunakan sebagai markas. Tiga hari kemudian, MacDonald memberikan ultimatum kepada Gubernur Jawa Barat semoga Bandung Utara dikosongkan oleh penduduk Indonesia, termasuk pasukan bersenjata.
Ultimatum Tentara Sekutu semoga Tentara Republik Indonesia (TRI, sebutan bagi TNI pada ketika itu) meninggalkan kota Bandung mendorong TRI untuk melaksanakan operasi "bumihangus". Para pejuang pihak Republik Indonesia tidak rela bila Kota Bandung dimanfaatkan oleh pihak Sekutu dan NICA. Keputusan untuk membumihanguskan Bandung diambil melalui musyawarah Madjelis Persatoean Perdjoangan Priangan (MP3) di hadapan semua kekuatan usaha pihak Republik Indonesia, pada tanggal 24 Maret 1946.
Kolonel Abdoel Haris Nasoetion selaku Komandan Divisi III TRI mengumumkan hasil musyawarah tersebut dan memerintahkan evakuasi Kota Bandung. Hari itu juga, rombongan besar penduduk Bandung mengalir panjang meninggalkan kota Bandung dan malam itu pembakaran kota berlangsung. Bandung sengaja dibakar oleh TRI dan rakyat setempat dengan maksud semoga Sekutu tidak dapat menggunakan Bandung sebagai markas strategis militer. Di mana-mana asap hitam mengepul membubung tinggi di udara dan semua listrik mati.
Tentara Inggris mulai menyerang sehingga pertempuran sengit terjadi. Pertempuran yang paling besar terjadi di Desa Dayeuhkolot, sebelah selatan Bandung, di mana terdapat gudang amunisi besar milik Tentara Sekutu. Dalam pertempuran ini Muhammad Toha dan Ramdan, dua anggota milisi BRI (Barisan Rakjat Indonesia) terjun dalam misi untuk menghancurkan gudang amunisi tersebut. Muhammad Toha berhasil meledakkan gudang tersebut dengan dinamit. Gudang besar itu meledak dan terbakar bersama kedua milisi tersebut di dalamnya.
Staf pemerintahan kota Bandung pada mulanya akan tetap tinggal di dalam kota, tetapi demi keselamatan mereka, maka pada pukul 21.00 itu juga ikut dalam rombongan yang mengevakuasi dari Bandung. Sejak ketika itu, kurang lebih pukul 24.00 Bandung Selatan telah kosong dari penduduk dan TRI. Tetapi api masih membubung mengkremasi kota, sehingga Bandung pun menjadi lautan api.
Pembumihangusan Bandung tersebut dianggap merupakan seni administrasi yang sempurna dalam Perang Kemerdekaan Indonesia alasannya yaitu kekuatan TRI dan milisi rakyat tidak sebanding dengan kekuatan pihak Sekutu dan NICA yang berjumlah besar. Setelah peristiwa tersebut, TRI bersama milisi rakyat melaksanakan perlawanan secara gerilya dari luar Bandung.
Peristiwa ini mengilhami lagu Halo, Halo Bandung yang nama penciptanya masih menjadi materi perdebatan. Beberapa tahun kemudian, lagu "Halo, Halo Bandung" secara resmi ditulis, menjadi kenangan akan emosi yang para pejuang kemerdekaan Republik Indonesia alami ketika itu, menunggu untuk kembali ke kota tercinta mereka yang telah menjadi lautan api.
Asal istilah - Istilah Bandung Lautan Api menjadi istilah yang terkenal setelah peristiwa pembumihangusan tersebut. Jenderal A.H Nasution yaitu Jenderal TRI yang dalam pertemuan di Regentsweg (sekarang Jalan Dewi Sartika), setelah kembali dari pertemuannya dengan Sutan Sjahrir di Jakarta, memutuskan seni administrasi yang akan dilakukan terhadap Kota Bandung setelah mendapatkan ultimatum Inggris tersebut.
"Jadi saya kembali dari
Jakarta, setelah bicara dengan Sjahrir itu. Memang dalam pembicaraan itu di Regentsweg, di pertemuan itu, berbicaralah semua orang. Nah, disitu timbul pendapat dari Rukana, Komandan Polisi Militer di Bandung. Dia berpendapat, “Mari kita bikin Bandung Selatan menjadi lautan api.” Yang beliau sebut lautan api, tetapi bekerjsama lautan air." - A.H Nasution, 1 Mei 1997.
Istilah
Bandung Lautan Api muncul pula di harian Suara Merdeka tanggal 26 Maret 1946. Seorang wartawan muda ketika itu, yaitu Atje Bastaman, menyaksikan pemandangan pembakaran Bandung dari bukit Gunung Leutik di sekitar Pameungpeuk, Garut. Dari puncak itu Atje Bastaman melihat Bandung yang memerah dari Cicadas hingga dengan Cimindi. Setelah tiba di Tasikmalaya, Atje Bastaman dengan bersemangat segera menulis informasi dan memberi judul "Bandoeng Djadi Laoetan Api". Namun alasannya yaitu kurangnya ruang untuk goresan pena judulnya, maka judul informasi diperpendek menjadi "Bandoeng Laoetan Api".
Lagu Halo, Halo Bandung menjadi sangat terkenal dan menjadi simbol usaha bangsa Indonesia. Sampai hari ini sebagian masyarakat Indonesia meyakini bahwa lagu tersebut diciptakan oleh salah satu maestro musik Indonesia, Ismail Marzuki, namun sebagian kalangan juga masih meragukan hal tersebut, alasannya yaitu sumber informasi yang tak terang mengenai lagu tersebut, ditambah dengan kondisi industri musik Indonesia yang kurang memprioritaskan sumbangan hak cipta.
Nama pencipta resmi dari lagu Halo, Halo Bandung masih diragukan sebagian masyarakat Indonesia. Perdebatan perihal siapa pencipta lagu Halo-Halo Bandung bekerjsama sudah lama terjadi. Di dalam buku Saya Pilih Mengungsi: Pengorbanan Rakyat Bandung untuk Kedaulatan yang ditulis Ratnayu Sitaresmi, Pestaraja HS Marpaung menyebutkan bahwa polemik itu mulai terjadi pada 1995. Pestaraja Marpaung yaitu salah seorang pejuang yang sempat bergabung ke dalam Pasukan Istimewa (PI) Indonesia dan turut terlibat pribadi dalam peristiwa Bandung Lautan Api.
Komponis senior Indonesia, AT Mahmud, membenarkan adanya polemik tersebut, dengan menyebutkan bahwa lagu tersebut tidak diketahui siapa penciptanya, menurut kutipan dari surat kabar Pikiran Rakyat edisi 23 Maret 2007. "Informasi yang saya dengar, lagu tersebut, seharusnya, NN (No Name; Pencipta tak diketahui-red.)". Saya sendiri tak tahu bagaimana kemudian lagu itu jadi ciptaan Ismail Marzuki,” ungkapnya, ketika dihubungi, Kamis (22/3) petang."
Sejauh ini, masyarakat Indonesia menganggap bahwa lagu usaha tersebut merupakan ciptaan Ismail Marzuki. Akan tetapi, banyak orang yang meragukannya. Hal ini alasannya yaitu berkecenderungan Ismail untuk mencipta lagu-lagu berirama lambat dan romantis. Sementara Halo-Halo Bandung dimasukkan dalam kategori lagu mars yang berirama cepat dan heroik. Keraguan ini ditentang oleh pengamat musik Indonesia yang mengatakan bahwa Ismail Marzuki yaitu pencipta lagu yang dinamis, alasannya yaitu terdapat sisi romantisme yang yaitu ciri khas Ismail Marzuki dalam lagu tersebut.
Anggapan lain muncul bahwa Cornel Simanjuntak, salah seorang pencipta lagu dan pahlawan nasional Indonesia kelahiran Sumatera Utara, yaitu pencipta lagu Halo-Halo Bandung. Sementara Ibu Kasur, salah seorang tokoh komponis senior Indonesia, mengatakan bahwa mendiang suaminya, Pak Kasur yang juga tokoh komponis Indonesia, mengatakan bahwa lagu tersebut diciptakan oleh seseorang berjulukan Tobing. Dalam buku Saya Pilih Mengungsi, Pestaraja Marpaung menyatakan bahwa Bona L Tobing yaitu orang yang pertama kali mengucapkan "Halo! Halo Bandung!" yang menjadi sumber inspirasi lagu tersebut.
"Ceritanya, pada suatu malam, di Ciparay, diselenggarakan perayaan Batak. Di sana, disediakan pula sebuah panggung dan menunjukkan kesempatan kepada pengunjung yang ingin menyumbangkan lagu. Seorang cowok Batak berjulukan Bona L. Tobing, tiba-tiba menyapa, "Halo!" kepada Kota Bandung di kejauhan, “Halo Bandung!". Kemudian sapaan itu memiliki irama, “Halo-Halo Bandung” menyerupai irama yang dikenal ketika ini. "Akan tetapi, irama itu tidak simpulan alasannya yaitu malam sudah larut,".
Di dalam buku Saya Pilih Mengungsi, Pestaraja Marpaung, yang erat dipanggil Bang Maung, menyebutkan bahwa lagu tersebut bukan ciptaan perseorangan melainkan merupakan ciptaan bersama para pejuang di Ciparay, Bandung Selatan, tanpa melihat asal-usul suku bangsa. Hal tersebut dicerminkan dengan penggunaan kata "Halo!" yang yaitu sapaan khas cowok dari Medan, Sumatera Utara, yang ditimbulkan dari pengaruh film-film koboi dari Amerika yang sering diputar pada waktu itu. Ditambah dengan penggunaan kata "beta", bahasa tempat Ambon, Maluku, yang berarti "saya".
Berikut kutipan dari buku Saya Pilih Mengungsi perihal kisah Pestaraja Marpaung mengenai penciptaan lagu Halo-Halo Bandung. "Sebagai pejuang, Bang Maung pun turut menyusup ke Kota Bandung, setiap malam, setelah peristiwa Bandung Lautan Api. "Siang hari tidak ada kerja. Kaprikornus di Ciparay ini, bawah umur Bandung dari Pasukan Istimewa tiduran. ‘Eh, lagu yang kemarin itu mana? Halo! Halo Bandung! de-de-de— (berirama menurun).’ Setelah lama, orang Ambon juga ikut. Pemuda Indonesia Maluku itu, di antaranya Leo Lopulisa, Oom Teno, Pelupessy.
Sesudah Halo-Halo Bandung, datang orang Ambonnya. Sudah lama beta! tidak bertemu dengan kau!’ Karena itu, ada ‘beta’ di situ. Bagaimana kata itu mampu masuk jika tidak ada beliau di situ. Si Pelupessy-lah itu, si Oom Tenolah itu, saya enggak tahu. Tapi, sambil nyanyi bikin syair. Itulah para pejuang yang menciptakannya. Tidak ada itu yang menciptakan. Kita sama-sama saja main-main begini. Jadi, jika dikatakan siapa pencipta (Halo-Halo) Bandung? Para pejuang Bandung Selatan,” ucapnya."
Sumber: