Sejarah Asal Usul Awal Pohon Natal Di Dunia

Mei 15, 2017
Sejarah Asal Usul Awal Pohon Natal Di Dunia - Natal sebentar lagi tiba dan penganut non islam akan merayakan hingga seluruh belahan dunia. tahu gak kau hari raya natal identik dengan pohon natal, di pohon itu terpasang hiasan-hiasan yang membuat pohon itu mengagumkan dan dibawahnya terdapat beberapa hadiah. Pohon Natal berasal dari perlengkapan panggung drama “Firdaus” kurun 11 Masehi di Jerman, bukan berasal dari pemujaan berhala apapun.

Kisah Pohon Natal merupakan episode dari riwayat hidup St. Bonifasius, yang nama aslinya yakni Winfrid. St. Bonifasius dilahirkan sekitar tahun 680 di Devonshire, Inggris. Pada usia lima tahun, ia ingin menjadi seorang biarawan; ia masuk sekolah biara akrab Exeter dua tahun kemudian. Pada usia empatbelas tahun, ia masuk biara di Nursling dalam wilayah Keuskupan Winchester. St. Bonifasius seorang yang giat belajar, murid abas biara yang berpengetahuan luas, Winbert. Kelak, Bonifasius menjadi pimpinan sekolah tersebut.
Sejarah Asal Usul Awal Pohon Natal Di Dunia
Pohon Natal

Pada waktu itu, sebagian besar penduduk Eropa utara dan tengah masih belum mendengar wacana Kabar Gembira. St. Bonifasius memutuskan untuk menjadi seorang misionaris bagi mereka. Setelah satu usaha singkat, ia mohon persetujuan resmi dari Paus St. Gregorius II. Bapa Suci menugaskannya untuk mewartakan Alkitab kepada orang-orang Jerman. (Juga pada waktu itu St. Bonifasius mengubah namanya dari Winfrid menjadi Bonifasius). St. Bonifasius menjelajah Jerman melalui pegunungan Alpen hingga ke Bavaria dan kemudian ke Hesse dan Thuringia. Pada tahun 722, paus mentahbiskan St. Bonifasius sebagai uskup dengan wewenang meliputi seluruh Jerman. Ia tahu bahwa tantangannya yang terbesar yakni melenyapkan takhayul kafir yang menghambat diterimanya Alkitab dan bertobatnya penduduk. Dikenal sebagai “Rasul Jerman”, St. Bonifasius terus mewartakan Alkitab hingga ia wafat sebagai martir pada tahun 754. Marilah kita memulai dongeng kita wacana Pohon Natal.

Dengan rombongan pengikutnya yang setia, St. Bonifasius sedang melintasi hutan dengan menyusuri suatu jalan setapak Romawi kuno pada suatu Malam Natal. Salju menyelimuti permukaan tanah dan menghapus jejak-jejak kaki mereka. Mereka dapat melihat napas mereka dalam udara yang cuek menggigit. Meskipun beberapa di antara mereka mengusulkan biar mereka segera berkemah malam itu, St. Bonifasius mendorong mereka untuk terus maju dengan berkata, “Ayo, saudara-saudara, majulah sedikit lagi. Sinar rembulan menerangi kita sekarang ini dan jalan setapak enak dilalui. Aku tahu bahwa kalian capai; dan hatiku sendiri pun rindu akan kampung halaman di Inggris, di mana orang-orang yang saya kasihi sedang merayakan Malam Natal. Oh, andai saja saya dapat melarikan diri dari lautan Jerman yang liar dan berbadai ganas ini ke dalam pelukan tanah airku yang aman dan damai! Tetapi, kita punya peran yang harus kita lakukan sebelum kita berpesta malam ini. Sebab sekarang inilah Malam Natal, dan orang-orang kafir di hutan ini sedang berkumpul akrab pohon Oak Geismar untuk memuja tuhan mereka, Thor; hal-hal serta perbuatan-perbuatan absurd akan terjadi di sana, yang menimbulkan jiwa mereka hitam. Tetapi, kita diutus untuk menerangi kegelapan mereka; kita akan mengajarkan kepada saudara-saudara kita itu untuk merayakan Natal bersama kita karena mereka belum mengenalnya. Ayo, maju terus, dalam nama Tuhan!”

Mereka pun terus melangkah maju dengan dikobarkan kata-kata semangat St. Bonifasius. Sejenak kemudian, jalan mengarah ke kawasan terbuka. Mereka melihat rumah-rumah, namun tampak gelap dan kosong. Tak seorang pun kelihatan. Hanya bunyi gonggongan anjing dan ringkikan kuda sesekali memecah keheningan. Mereka berjalan terus dan tiba di suatu tanah lapang di tengah hutan, dan di sana tampaklah pohon Oak Kilat Geismar yang keramat. “Di sini,” St. Bonifasius berseru sembari mengacungkan tongkat uskup berlambang salib di atasnya, “di sinilah pohon oak Kilat; dan di sinilah salib Kistus akan mematahkan palu sang tuhan kafir Thor.”

Di depan pohon oak itu ada api unggun yang sangat besar. Percikan-percikan apinya menari-nari di udara. Warga desa mengelilingi api unggun menghadap ke pohon keramat. St. Bonifasius menyela pertemuan mereka, “Salam, wahai putera-putera hutan! Seorang asing mohon kehangatan api unggunmu di malam yang dingin.” Sementara St. Bonifasius dan para pengikutnya mendekati api unggun, mata orang-orang desa menatap orang-orang asing ini. St. Bonifasius melanjutkan, “Aku saudaramu, saudara bangsa German, berasal dari Wessex, di seberang laut. Aku datang untuk memberikan salam dari negeriku, dan memberikan pesan dari Bapa-Semua, yang saya layani.”

Hunrad, pendeta renta tuhan Thor, menyambut St. Bonifasius beserta para pengikutnya. Hunrad kemudian berkata kepada mereka, “Berdirilah di sini, saudara-saudara, dan lihatlah apa yang membuat dewa-dewa mengumpulkan kita di sini! Malam ini yakni malam selesai hidup tuhan matahari, Baldur yang Menawan, yang dikasihi para tuhan dan manusia. Malam ini yakni malam kegelapan dan kekuasaan animo dingin, malam kurban dan kengerian besar. Malam ini Thor yang agung, tuhan kilat dan perang, kepada siapa pohon oak ini dikeramatkan, sedang berduka karena selesai hidup Baldur, dan ia marah kepada orang-orang ini alasannya mereka telah melalaikan pemujaan kepadanya. Telah lama berlalu semenjak sesaji dipersembahkan di atas altarnya, telah lama semenjak akar-akar pohonnya yang keramat disiram dengan darah. Sebab itu daun-daunnya layu sebelum waktunya dan dahan-dahannya meranggas hingga hampir mati. Sebab itu, bangsa-bangsa Slav dan Saxon telah mengalahkan kita dalam pertempuran. Sebab itu, panenan telah gagal, dan gerombolan serigala memporak-porandakan kawanan ternak, kekuatan telah menjauhi busur panah, gagang-gagang tombak menjadi patah, dan babi hutan membinasakan pemburu. Sebab itu, wabah telah menyebar di rumah-rumah tinggal kalian, dan jumlah mereka yang tewas jauh lebih banyak daripada mereka yang hidup di seluruh dusun-dusunmu. Jawablah aku, hai kalian, tidakkah apa yang kukatakan ini benar?” Orang banyak menggumamkan persetujuan mereka dan mereka mulai memanjatkan puji-pujian kepada Thor.

Ketika suara-suara itu telah reda, Hunrad mengumumkan, “Tak satu pun dari hal-hal ini yang menyenangkan dewa. Semakin berharga persembahan yang akan menghapuskan dosa-dosa kalian, semakin berharga embun merah yang akan memberi hidup gres bagi pohon darah yang keramat ini. Thor menghendaki persembahan kalian yang paling berharga dan mulia.”       

Dengan itu, Hunrad menghampiri anak-anak, yang dikelompokkan tersendiri di sekeliling api unggun. Ia memilih seorang anak laki-laki yang paling elok, Asulf, putera Duke Alvold dan isterinya, Thekla, lalu memaklumkan bahwa anak itu akan dikurbankan untuk pergi ke Valhalla guna memberikan pesan rakyat kepada Thor. Orang renta Asulf terguncang hebat. Tetapi, tak seorang pun berani berbicara.

Hunrad menggiring anak itu ke sebuah altar kerikil yang besar antara pohon oak dan api unggun. Ia mengenakan penutup mata pada anak itu dan menyuruhnya berlutut dan meletakkan kepalanya di atas altar batu. Orang-orang bergerak mendekat, dan St. Bonifasius menempatkan dirinya akrab sang pendeta. Hunrad kemudian mengangkat tinggi-tinggi palu tuhan Thor keramat miliknya yang terbuat dari kerikil hitam, siap meremukkan batok kepala Asulf yang kecil dengannya. Sementara palu dihujamkan, St. Bonifasius menangkis palu itu dengan tongkat uskupnya sehingga palu terlepas dari tangan Hunrad dan patah menjadi dua ketika menghantam altar batu. Suara decak kagum dan sukacita membahana di udara. Thekla lari menjemput puteranya yang telah diselamatkan dari kurban berdarah itu lalu memeluknya erat-erat.  

St. Bonifasius, dengan wajahnya bersinar, berbicara kepada orang banyak, “Dengarlah, wahai putera-putera hutan! Tidak akan ada darah mengalir malam ini. Sebab, malam ini yakni malam kelahiran Kristus, Putera Bapa Semua, Juruselamat umat manusia. Ia lebih elok dari Baldur yang Menawan, lebih agung dari Odin yang Bijaksana, lebih berbelas kasihan dari Freya yang Baik. Sebab Ia datang, kurban disudahi. Thor, si Gelap, yang kepadanya kalian berseru dengan sia-sia, sudah mati. Jauh dalam bayang-bayang Niffelheim ia telah hilang untuk selama-lamanya. Dan sekarang, pada malam Kristus ini, kalian akan memulai hidup baru. Pohon darah ini tidak akan menghantui tanah kalian lagi. Dalam nama Tuhan, saya akan memusnahkannya.” St. Bonifasius kemudian mengeluarkan kapaknya yang lebar dan mulai menebas pohon. Tiba-tiba terasa suatu hembusan angin yang dahsyat dan pohon itu tumbang dengan akar-akarnya tercabut dari tanah dan terbelah menjadi empat bagian.

Di balik pohon oak raksasa itu, berdirilah sebatang pohon cemara muda, bagaikan puncak menara gereja yang menunjuk ke surga. St. Bonifasius kembali berbicara kepada warga desa, “Pohon kecil ini, pohon muda hutan, akan menjadi pohon kudus kalian mulai malam ini. Pohon ini yakni pohon damai, alasannya rumah-rumah kalian dibangun dari kayu cemara. Pohon ini yakni lambang kehidupan abadi, alasannya daun-daunnya senantiasa hijau. Lihatlah, bagaimana daun-daun itu menunjuk ke langit, ke surga. Biarlah pohon ini dinamakan pohon kanak-kanak Yesus; berkumpullah di sekelilingnya, bukan di tengah hutan yang liar, melainkan dalam rumah kalian sendiri; di sana ia akan dibanjiri, bukan oleh persembahan darah yang tercurah, melainkan persembahan-persembahan cinta dan kasih.”  

Maka, mereka mengambil pohon cemara itu dan membawanya ke desa. Duke Alvold menempatkan pohon di tengah-tengah rumahnya yang besar. Mereka memasang lilin-lilin di dahan-dahannya, dan pohon itu tampak bagaikan dipenuhi bintang-bintang. Lalu, St. Bonifasius, dengan Hundrad duduk di bawah kakinya, menceritakan kisah Betlehem, Bayi Yesus di palungan, para gembala, dan para malaikat. Semuanya mendengarkan dengan takjub. Si kecil Asulf, duduk di pangkuan ibunya, berkata, “Mama, dengarlah, saya mendengar para malaikat itu bernyanyi dari balik pohon.” Sebagian orang percaya apa yang dikatakannya benar; sebagian lainnya mengatakan bahwa itulah bunyi nyanyian yang dimadahkan oleh para pengikut St. Bonifasius, “Kemuliaan bagi Tuhan di tempat mahatinggi, dan hening di bumi; rahmat dan berkat mengalir dari surga kepada insan mulai dari sekarang hingga selama-lamanya.”

Sementara kita berkumpul di sekeliling Pohon Natal kita, kiranya kita mengucap syukur atas karunia iman, senantiasa menyimpan kisah kelahiran Sang Juruselamat dalam hati kita, dan menyimak nyanyian kebanggaan para malailat. Kepada segenap pembaca, saya mengucapkan Selamat Hari Raya Natal yang penuh berkat dan sukacita!


* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls and a professor of catechetics and theology at Notre Dame Graduate School in Alexandria.

sumber : “Straight Answers: Christmas Tree Origins” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2002 Arlington Catholic Herald.  All rights reserved; www.catholicherald.com

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”                    

Artikel Terkait

Previous
Next Post »